Sinopsis Film A Minecraft Movie (2025)

Beberapa anak di belakang saya langsung berteriak “Mojang!”, nama perusahaan Swedia pembuat Minecraft, sebelum logo produksi muncul. Film Minecraft ini jelas dibuat untuk jutaan pemain game terlaris sepanjang masa.

Namun, bagaimana dengan penonton awam seperti saya yang tak mengerti mengapa istilah “chicken jockey” begitu heboh di studio? Tanda tanya besar muncul, bukan karena alurnya rumit, melainkan mengapa segala hal dalam “A Minecraft Movie” begitu sederhana.

Mungkin pembuatnya menargetkan generasi alpha. Tapi bukankah anak-anak zaman sekarang lebih pintar? Mengapa memberi mereka opening sequence yang malas untuk informasi awal? Salah satu karakter tiba-tiba mendapat kekuatan baru. “Jangan tanya,” jawab rekannya. Apakah LIMA penulis naskah tak bisa memberi alasan lebih meyakinkan?

Alur Cerita Film A Minecraft Movie (2025)

Steve (Jack Black), penjual gagang pintu bosan, menemukan portal ke Overworld, dunia blok yang bisa dimanipulasi. Di sana, Steve bebas berkreasi apa saja.

Setelah Steve menghadapi serangan piglin Nether pimpinan Malgosha (Rachel House), empat orang tersesat di Overworld menawarkan bantuan: Henry (Sebastian Hansen) dan kakaknya Natalie (Emma Myers); Garrett “The Garbage Man” Garrison (Jason Momoa), mantan juara game kini miskin; dan Dawn (Danielle Brooks).

Sederhana saja, “A Minecraft Movie” penuh kebetulan di setiap bagian cerita, menunjukkan kemalasan bercerita. Naskahnya lebih tertarik memasukkan humor konyol dan fan service daripada mengembangkan alur cerita baik, membuat film ini terlihat seperti shitpost bernilai ratusan juta dolar. Contohnya, tiba-tiba ada musical experience dengan lagu aneh “Steve’s Lava Chicken”.

Di sini, Jack Black berusaha sekuat tenaga. Mungkin tak ada aktor lain seantusias dia menghadapi momen absurd. Black mengambil pendekatan tepat karena sadar film apa yang ia bintangi. Jason Momoa juga bersedia mengadopsi citra pria tangguh yang sudah jadi ciri khasnya.

Review Film A Minecraft Movie (2025)

Namun, para penulis punya banyak pilihan menyusun cerita. Sebut saja pencarian “kreativitas tanpa batas”, inti permainannya. Meski karakter menciptakan banyak hal aneh, tak banyak yang terasa sebagai “metode kreatif memecahkan masalah”.

Selain itu, pesannya tak berguna. Di akhir, “A Minecraft Movie” seolah ingin mengingatkan pemain untuk menggunakan ide di dunia nyata, bukan hanya di dunia fantasi. Film ini gagal memanfaatkan pesan relevan dan penting ini untuk menghasilkan penceritaan memadai. Tak ada emosi saat para protagonis berpisah dari Overworld, karena penonton tak tertarik pada karakter atau dunia mereka.

Tak terhitung kalimat lucu dalam naskahnya. “Pertama kita menggali, kemudian kita membuat, mari kita buat minecraft!” adalah salah satu contoh terbaik—atau terburuk? Mungkin suatu hari nanti, semua kebodohan “A Minecraft Movie” akan jadi film kultus yang mencerminkan era ini. Namun, saat ini, ini hanyalah blockbuster yang tak masalah untuk dilewatkan, terutama bagi penonton umum.

By admin