Sinopsis Film Jumbo (2025)
Media animasi seringkali dicap sebagai “tontonan anak”, disamakan dengan hiburan ringan, seolah anak-anak tak mampu menikmati tontonan yang lebih “berat”. “Jumbo” tampil unik karena menolak pandangan ini dan menghormati penonton muda.
Sutradara Ryan Adriandhy dan penulis naskah Widya Arifianti adalah pencerita ulung. Mereka tahu cara membuat topik berat menarik bagi anak-anak tanpa meremehkan atau menyederhanakan masalah hingga kehilangan esensinya.
Contohnya, keadaan keluarga Don (Prince Poetiray) alias “Jumbo”. Buku dongeng peninggalan orang tuanya sangat berharga baginya. Suatu hari, orang tuanya pergi dan tak pernah kembali. Kita tahu ayah dan ibu Don meninggal. Dari cerita Don tentang jalan licin hari itu, terlihat ia memahaminya. Situasi ini menyakitkan, namun “Jumbo” tak ingin menggambarkan kematian hanya sebagai hal “menyeramkan” tanpa ruang diskusi. Kata “mati” bahkan tak disebut. Apakah kematian menyebabkan penurunan berat badan? Tentu tidak.
Alur Cerita Film Jumbo (2025)
Kita tetap merasakan kesedihan Don, terutama kesepiannya. Don sering ditolak teman sekelas, terutama Atta (M. Adhiyat) yang suka mengejek. Namun, Don masih punya dua sahabat, Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail). Lalu, ia bertemu Meri (Quinn Salman), gadis kecil yang aneh.
Siapa Meri sebenarnya? Ia punya banyak kemampuan ajaib, bisa terbang, dan tak bisa disentuh. Meri adalah roh yang masih hidup. Bodoh. Namun, Ryan dan tim lebih menyukai sisi magis karakter ini daripada monster menakutkan. Meri lebih suka menyebut kondisinya “beristirahat dengan tenang” daripada “mati”.
Karena kematian juga bagian dari kehidupan, “Jumbo” tak mengutamakan kengerian dalam presentasi dunia misteriusnya. Menyediakan perspektif positif lebih baik daripada menanamkan ketakutan pada anak sejak dini, bukan?
Review Film Jumbo (2025)
Elemen misteriusnya memberi dasar konflik inovatif sebelum membahas isu relevan seperti penggusuran tanah, yang tetap mudah dipahami penonton anak berkat kepiawaian penulis.
Naskah tak berhenti di situ. Penokohan Don patut dipuji karena “Jumbo” menunjukkan pesan baik tak harus disampaikan sempurna. Don punya banyak kekurangan, mengajarkan pentingnya mengorbankan ego dan menepati janji. Ketidaksempurnaannya membuatnya karakter yang wajar bagi anak kecil.
Selain itu, Prince Poetiray, yang belum berusia sepuluh tahun saat mengisi suara Don, menambah kompleksitas karakter. Suaranya tak hanya merdu saat bernyanyi, tapi juga penuh emosi. Kadang bersemangat, kadang lembut karena menyimpan perasaan atau pikiran.
Kualitas audiovisual “Jumbo” juga luar biasa. Trio Laleilmanino menyanyikan lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang dibawakan Bunga Citra Lestari, lagu yang mudah diingat dan menyentuh hati. Tingkat keterlibatannya meyakinkan bahwa sumber daya kita layak bersaing dengan negara lain.
Kita diajak ke rumah Atta, yang tinggal dengan kakaknya, Acil (Angga Yunanda), salah satu pemandangan favorit saya. Perhatikan tambalan semen di dinding rumah mereka. Itu menunjukkan perhatian Ryan dan tim pada detail, termasuk ketepatan representasi.
Meski terinspirasi Pixar dan anime Jepang, “Jumbo” tetaplah karya khas Indonesia. Salah satu karakternya berkata, “Cerita tidak akan jadi cerita tanpa pendengar.” Ryan dan tim telah menghubungi kita untuk mendengarkan keluhan tentang kurangnya animasi Indonesia di bioskop. Kini saatnya kita mendengarkan kisah mereka dalam “Jumbo”.