Sinopsis Film PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI
Triler PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI
Adegan kekerasan yang berujung pada pemerkosaan Silvi, siswi SMA, membuka “Pengepungan” di Bukit Duri. Saya tanpa sadar mengantisipasi pahlawan penyelamat, mungkin karena ilusi komedi yang sering menutupi kebenaran, atau karena Joko Anwar pernah membuat “Gundala”. Namun, pahlawan tak datang. Joko ingin kita melihat realita tanpa kekuasaan, seburuk apa pun.
Latar adalah Indonesia alternatif tahun 2027, 16 tahun pasca kerusuhan mirip 1998. Rasisme terhadap etnis Tionghoa menindas masyarakat. Bahkan siswa SMA tenang mengeroyok pemuda Tionghoa dalam “berburu babi”. Suara atmosfer distopia turut menciptakan suasana mencekam. Joko kembali menunjukkan kepiawaian memilih musik, menggabungkan lagu Tony Merle dan Negative Lovers yang menyuarakan penderitaan kaum marginal di dunia film ini.
Kita lalu bertemu Edwin (Morgan Oey), adik Silvi yang menjadi guru. Ia baru ditunjuk sebagai guru pengganti di SMA Bukit Duri untuk siswa bermasalah. Namun, Edwin punya tujuan rahasia: mencari anak Silvi yang hilang bertahun-tahun. Edwin menduga Kristo (Endy Arfian) adalah orang yang ia cari.
Namun, pencarian gagal karena penolakan siswa rasis pimpinan Jefri (Omara Esteghlal). Jefri memberontak, namun Edwin menegaskan otoritasnya sebagai guru yang harus dihormati dan mendidik muridnya. “Pengepungan” di Bukit Duri menggambarkan “pengaruh”. Namun, saat figur guru dan ayah gagal memberi pengaruh baik (kebanyakan siswa Bukit Duri membenci ayah mereka), anak-anak kehilangan kepercayaan.
Alur Cerita Film PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI
Kerusuhan kembali pecah. Edwin terkurung bersama Kristo, Rangga (Fatih Unru), dan Diana (guru konselor), sementara Jefri dan kelompoknya menunggu menyerang di luar. Edwin meminta temannya mundur sejenak. Anak-anak itu menurut, meski sambil mengumpat. Figur pendidik sejak dini dan kontrol yang baik sangat dibutuhkan anak-anak.
Joko menolak bermain aman dengan sekadar menggabungkan peristiwa untuk memicu amarah. Ia juga mengajak penonton berpikir. Contohnya, saat geng Tionghoa memukuli Kristo, atau saat Diana muncul di bar pecinan dan Vera (Shindy Huang) bersikap sinis. Apakah ini menunjukkan rasisme dua arah? Mungkin, namun satu akibat trauma lama, satunya kebencian tanpa alasan. Tak ada hitam-putih di sini.
Seluruh pemain, mayoritas bintang muda, tampil baik, namun Morgan Oey dan Omara Esteghlal paling menonjol. Omara berhasil menciptakan kekacauan, sementara luapan emosi Morgan, terutama di paruh akhir, akan menghancurkan perasaan penonton. Sosoknya mudah dibenci, namun luka di wajahnya membuatnya dikasihani. Jefri adalah pengingat siklus kekerasan tanpa akhir.
Salah satu karakter menarik adalah murid yang rajin melukis Kristo. Seolah kelas yang biasa mengabaikan seni kehilangan talentanya. Situasi ini mirip negara kecil. “Pengepungan Bukit Duri” menyatakan bahwa saat seni diremehkan, dihancurkan (pensil terinjak), atau disalahgunakan (pensil melukai), bangsa itu hancur dan kehilangan jiwa.
Review Film PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI
Film ini tak sempurna. Intensitas sempat menurun dan monoton saat protagonis menghadapi pengepungan, namun banyak pencapaian patut dihargai. Untuk menciptakan kontradiksi yang memperkuat intensitas, Joko, layaknya Hitchcock, menyajikan momen komedi ringan sebelum karakter masuk kegelapan mengerikan.
Namun, pencapaian terbesar Joko adalah penyutradaraan. Pengarahannya mencapai puncak dalam “Pengepungan di Bukit Duri”. Dibantu tata kamera dinamis Ical Tanjung, Joko memastikan adegan aksi yang banyak tak terasa lucu dan tak menarik.
Babak ketiga film ini seperti “The Raid versi jalan raya, tanpa keindahan silat”, terutama perkelahian Edwin dan Jefri di lorong sekolah dan toilet. Koreografi Muhammad Irfan menciptakan “kekacauan terstruktur”, membuat kedua karakter berjuang keras menggunakan apa pun.
Banyak peristiwa, ide, dan karakter dari berbagai latar belakang terlibat. Namun, pemerintah adalah satu-satunya pihak yang tak pernah menunjukkan ketidaksetaraan. Joko membuat pernyataan lantang tentang kegagalan pemerintah dengan “menunjukkan” bukan “meniadakan”.